FKUB, Bogor – Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) Kota Bogor bersama Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina menggelar acara Ngabuburit Online bertema “Ketahanan Komunitas dan Binadamai” dengan memutarkan serial dokumenter Luka Beta Rasa.
Hj. Yane Ardian Rachman, istri Walikota Bogor menjadi pemantik diskusi bersama dengan KH. M. Mustafa Abdullah bin Nuh (Ketua MUI Kota Bogor) dan Siswo Mulyartono (Peneliti PUSAD Paramadina). Pemutaran film dan diskusi yang berlangsung pada Kamis (7/5/2020) itu dipandu oleh H. Hasbulloh Ghazali, Sekretaris FKUB Kota Bogor.
Dalam paparannya, Yane Ardian menegaskan bahwa ketahanan keluarga adalah gerbang utama agar ketahanan komunitas dapat terlaksana.
Melihat itu, H. Hasbulloh Ghazali menyepakati pernyataan Yane ketika memaknai film yang diputar dan secara kontekstual juga berlaku di masa pandemi Covid-19 di Kota Bogor. “Bagi keluarga-keluarga tertentu, terutama keluarga yang rentan, mereka perlu dibimbing dan diberi tahu bagaimana cara mengatasi permasalahan mereka. Saya sepakat ketahanan utama adalah gerbang bagi ketahanan komunitas,” ujar Hasbuloh dalam pesan singkatnya, Senin (18/05/2020).
Film yang diproduksi Narasi bekerja sama dengan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina merupakan bagian dari seri dokumenter The Invisible Heroes yang digulirkan Narasi. Film tersebut mengisahkan mantan kombatan anak saat konflik agama di Ambon bergulir 1999-2002.
Berkisah tentang Ronald, mantan tentara anak yang berusaha keluar dari trauma dan kemudian menjadi provokator damai. Film ini merupakan kerjasama program ketahanan komunitas mengahadapi tantangan ektremisme kekerasan.
“Saya menyesal menjadi pelaku sejarah kekerasan pada zaman itu. Saya kehilangan masa muda saya. Seharusnya anak usia 10 tahun bersama orang tua dan kawan-kawannya bermain,” ujar Ronald Regang, salah satu mantan pasukan anak Agas dan anggota tim Cichak yang disegani.
Ronald tidak sendirian, ada ribuan anak yang terpaksa jadi kombatan saat peristiwa paling berdarah di Maluku terjadi. Konflik sektarian antara Kristen dan Islam melibatkan anak-anak usia 7-15 tahun. Dari sejumlah dokumen yang beredar, jumlah mereka diperkirakan mencapai 4.000 anak. Setelah 21 tahun berselang, Ronald mencari kembali teman-teman masa kecilnya yang juga tumbuh dengan trauma perang.
Mereka yang semasa kecil menjadi pasukan khusus pembuka jalan yang berani maju di garis depan dan lihai merakit bom, kini hidup berpencar. Sebagian masih tinggal di Ambon, sebagian lainnya berusaha melupakan masa lalu dengan tinggal di kota lain.
KH. Mustofa Abdullah Bin Nuh mengingatkan bahwa tidak semestinya perbedaan agama, etnis, suku bangsa menjadi sebuah landasan permusuhan melainkan persatuan. “Perbedaan justru harus menjadi landsan persatuan,” tegas Ketua MUI Kota Bogor itu.
Cerita Ronald dan teman-teman masa kecilnya yang tumbuh dengan trauma perang inilah yang coba ingin dihadirkan film ini.
Kehidupan tidak pernah lepas dari konflik, namun seperti yang ditekankan Siswo Mulyartono bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita terlatih untuk mengelola konflik. “Jangan sampai menimbulkan diskriminasi dan kekerasan,” tanggap Siswo.
Tokoh-tokoh di film ini adalah arsip hidup betapa perang memang bisa berakhir, tapi ingatan akan perang bisa sepanjang usia. Kesaksian mereka adalah bukti bahwa darah bisa habis, tapi air mata tidak, seperti juga trauma. Tidak ada pemenang dalam perang. Semua kalah. Juga kemanusiaan. #Malik Baihaqi/IST